PEPERANGAN NABI

PEPERANGAN NABI

Satu kesan yang masih tetap membekas di dunia Kristen bahwa Muhammad adalah seorang garang yang gemar berperang, yang lebih suka berperang ketimbang berunding, orang yang prinsip utamanya ialah kekuatan. Sama sekali tidak ada dasar sejarah bagi anggapan sekelas teri ini.

Selama 40 tahun pertama usianya saja, hingga Beliau menerima tugas kenabian, Muhammad adalah seorang yang sangat tenang, patuh, menjadi contoh dalam ketabahan dan kesabaran, kebersihan jiwa dan kejujurannya, di antara suatu bangsa yang terkenal gemar berpesta pora dan melampaui batas dalam segala hal. Karena perangainya yang halus itulah maka Beliau diberi julukan ‘Al Amin’, artinya si Jujur, dan Beliau tidak kurang terkenalnya sebagai juru damai dalam suatu pertikaian. Dan sesudah menerima tugas kenabian, ketika dengan pandangan insani, Beliau melihat kebencian yang merajalela dalam pikiran dan praktek bangsanya, dan sadar bahwa Beliau sendiri telah dilimpahi tugas yang luar biasa untuk memimpin mereka ke jalan yang benar, selama 12 tahun pertama, dibawah tekanan dan penganiayaan, Beliau tetap sebagai juru dakwah (khatib) sederhana untuk menyampaikan Firman Allah.

Setiap hari Beliau mempertaruhkan hidupnya di tengah gerombolan-gerombolan manusia yang berkumpul di sekitar Kabah dan di tempat-tempat umum lainnya (berkotbah). Penganiayaan dan kematian syahid menimpa pengikutnya, dengan resiko seperti itu pula mengancam dirinya, tidak ada yang bisa menghalanginya untuk membenarkan pembalasan, sebelum Beliau sendiri menerima perintah yang membenarkan penggunaan senjata.

Orang-orang yang memandang sinis kepada Nabi pasti akan mengatakan – seperti telah sekian kali mereka ucapkan – “Muhammad hanya menanti saat yang tepat hingga Beliau mempunyai bala tentara”. Anggapan orang seperti ini tidak beralasan, karena sekiranya Nabi mau berperang di Mekkah (sebelum hijrah ke Madinah), sedikitpun tidak diragukan bahwa Beliau dapat memimpin bagian terbesar dari familinya yang, walaupun kafir, tetap bersedia untuk membela Beliau dari pembunuhan pihak lain, kecuali Abu Lahab. Dan saya percaya Beliau dapat menarik seluruh budaknya untuk membantu. Mungkin Beliau tidak akan berhasil, kata Anda. Tetapi, kemungkinan itu tidak lebih kecil dari pada ketika kemudian Beliau melakukannya di Madinah, dengan pasukan yang kecil yang kebanyakan bersenjata sangat sederhana, menghadapi tentara Makkah yang terlatih dan bersenjata lengkap, di medan Perang Badar. Tetapi, sekiranya Beliau pencinta perang dan kekerasan, seharusnya Beliau telah melakukannya di Mekkah dahulu, ketimbang sesudah Beliau ada di Madinah.

Sebagai pemimpin lumrahnya, sekiranya Beliau telah percaya bahwa perang itu halal, seharusnya Beliau telah menjalankan peperangan sebagai pembalasan atas penganiayaan musuh terhadap para pengikutnya. Adalah suatu rahmat bahwa pada waktu itu Beliau percaya bahwa peperangan itu haram bagi pengikutnya; adalah suatu rahmat bahwa Beliau sabar hingga turunya perintah untuk itu. Karena, sekiranya dahulu itu telah terjadi peperangan di Makkah, yang akan dilakukan oleh umat Muslim bersama-sama dengan orang kafir (yang dikacaukan oleh pertimbangan suku dan famili), dengan konsekuensi kebangkitan para budak yang segera akan membalas dendam atas penderitaan mereka, peperangan itu sendiri tidak akan dapat dijadikan contoh peperangan yang bermartabat, sebagai peperangan melawan kejahatan, seperti contoh yang telah diperlihatkan oleh kaum Muslim setelah hijrah di Madinah.

Sebagai alternatif menghindarkan diri dari penganiayaan di Mekkah, Nabi memberi izin para pengikutnya meninggalkan kota, dan kebanyakan di antara mereka pergi ke Abesinia yang Kristen. Tetapi Nabi sendiri tinggal menanggung segala kebencian dan permusuhan yang disebabkan oleh kotbah agamanya kepada orang-orang Mekkah itu. Permusuhan itu bertambah sedemikian rupa, sehingga bagian terbesar orang-orang Quraisy memutuskan untuk membunuh Beliau, apabila Beliau meninggalkan kota.

Pada suatu petang hari Beliau seperti biasanya menjalankan tugasnya berdakwah sambil mempertaruhkan jiwa diantara bangsanya, Beliau menemui 6 orang laki-laki yang datang berziarah ke Mekkah dari Jathrib (Madinah). Kepada mereka Nabi mengkotbahkan agama Islam dan mereka menerima serta memeluk agama itu. Ketika 6 orang itu kembali ke kampung halaman, mereka bercerita tentang agama baru yang diajarkan Nabi di kalangan sanak keluarga dan orang-orang sekitar, dan agama baru ini diterima di mana-mana.

Sejak lama sekali, orang-orang Jathrib ini terpecah menjadi 2 goongan yang saling bermusuhan. Karena berita tentang agama Islam ini, kedua suku yang lama bermusuhan itu berkumpul dan beramah tamah, dan ini dianggap sebagai mujizat (ketika mereka menyadari kemudian) dan mempertebal hasrat mereka akan agama baru ini. Segeralah tersiar berita bahwa “tidak ada sebuah rumahpun di Jathrib di mana nama Rasulullah tidak disebut-sebut”.

Tahun berikutnya, sejumlah orang-orang Jathrib berziarah ke Mekkah. Nabi menemui mereka di tempat pertemuan dengan ke 6 orang Jathrib pada tahun lalu, di Aqabah. Penganiayaan terhadap pengikut Nabi menyebabkan Nabi mencari tempat pengungsian bagi para pengikutnya, dan usulan orang Jathrib supaya mereka ke Jathrib, disetujui Rasullullah. Di Aqabah itulah, terjadi bai’at (janji) orang-orang Jathrib terhadap Muhammad, disinilah terdapat titik awal yang menyentuh peperangan. Orang-orang Jathrib berjanji akan melindungi Nabi dengan jiwa, harta dan keluarga mereka.

Pada suatu hari, kepala-kepala suku Quraisy telah memutuskan akan membunuh Nabi sekali untuk selamanya. Para pembunuh telah dipilih, seorang pemuda dari setiap suku, supaya kebencian dan dendam dapat dibagi rata, dan supaya tindakan itu melambangkan tindakan kolektif; ketika itulah Nabi mengungsi bersama Abu Bakar (Ayah Aisyah). Mereka berdua diburu dalam perjalanan, tetapi, atas rahmat Tuhan mereka sampai di Madinah dan disambut dengan sorak gembira oleh pengikut Nabi. Waktu itu Nabi telah berusia 53 tahun. Beliau memimpin sebuah negara kecil, tetapi tanpa tentara. Perhatiannya yang pertama ialah pemerintahan damai.

Dan disini saya merasa perlu meminta perhatian Anda terhadap satu hal yang sangat penting tentang watak orang Arab. Siapa saja yang tahu sesuatu tentang watak dan perangai orang Arab, siapa saja yang telah mempelajari sejarah Arab, akan berpikir bahwa setiap orang Arab, betapapun saleh dan sabarnya, setelah mengalami penganiayaan kejam dari suatu kalangan, apabila ia beroleh kemerdekaan dan kesempatan serta jalan untuk menghadapi orang itu, walaupun dengan harapan yang tipis, ia pasti akan terlibat dalam rencana pembalasan dendam. Tetapi, Nabi sama sekali tidak seperti itu. Beliau memusatkan seluruh perhatiannya pada pemerintahan kota Madinah secara damai. Baru setelah mendengar bahwa musuhnya benar-benar bertujuan tunggal hendak memburu sampai ke Madinah, untuk menghancurkan rakyatnya serta melenyapkan agama baru Islam, maka perintah diberikan kepada kaum Muslim oleh Allah, untuk berperang.

(Qs 22:40) (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

(QS 2:251) ….Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Namun Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.

Reaksi pertama kaum beriman menerima perintah perang adalah merasa enggan. Al Qur’an pun merespond sikap manusiawi ini :

(Qs 2:216) Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Nabi telah tunduk pada ajaran Yesus yang sejak semula tidak melakukan perlawanan, namun pada akhirnya Nabi menemui satu titik di mana ajaran Yesus tidak lagi diperlukan, ajaran Yesus harus disempurnakan. Wahyu yang diterima Yesus dahulu tidak dapat lagi memberikan petunjuk yang terang kepadanya dalam posisi baru ini, yang jauh berbeda dengan posisi Yesus dahulu.

Nah, Nabi dan pengikutnya telah menerima perintah untuk berperang. Siapa saja yang mengenal watak garang orang-orang Arab, akan menduga bahwa seorang Arab yang beroleh perintah dari Tuhan untuk berperang melawan musuh-musuh lama, pasti akan terjerumus ke dalam segala kebuasan perang yang dibenarkan oleh adat kebiasaan pada zamannya. Tidaklah demikian dengan Nabi. Bukan peperangan cara Arab lama yang tak terkendali itu yang diwajibkan kepadanya dan para pengikut, melainkan peperangan cara baru, yang kalau prinsip-prinsipnya diterima secara umum dipakai, maka peperangan telah berakhir berabad-abad yang lalu.

Al Qur’an memberikan batasan berperang :

(Qs 2:190) Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Peperangan sebelum Islam tidak terbatas dalam kebuasannya (bahkan di jaman modern sekarang pun kebuasan perang tidak kalah beda dengan peperangan jaman dulu). Peperangan Islam yang baru itu mempunyai batas-batas yang tegas (batas-batas dari Allah) – sebagaimana bunyinya dalam Al Qur’an. Ada hal-hal yang umum dilakukan oleh orang jahiliyah serta orang-orang Yahudi dan Kristen dalam peperangan-peperangan mereka, yang diharamkan oleh Allah bagi kaum Muslim dalam keadaan yang bagaimanapun. Ada pula hal-hal yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di sekitarnya yang hanya boleh dilakukan kaum Muslim dalam kasus Qishaash. Dan lagi, ada kebiasaan-kebiasaan lain pada masa itu yang nampak kejam bagi kita, yang diperintahkan kepada mereka untuk dijalankan terhadap kalangan tertentu (orang-orang yang demikian buasnya sehingga tidak mau mendengarkan, para penjahat yang sungguh-sungguh, yang merusak orang-orang lain) – dengan jalan memberikan hukuman sebagai contoh.

Melihat nasib masyarakat manusia di tanah Arab pada masa itu, yang ajaib bukanlah adanya perintah-perintah dalam Al Qur’an mengenai peperangan yang mengganggu perasaan modern kita, malah perintah-perintah semacam itu begitu sedikit. Dalam peperangan Badar di mana kaum Muslim menang, para pemenang ini berhenti berperang ketika musuh berhenti; orang-orang tawanan diperlakukan secara ramah, yang merupakan suatu hal yang baru pada masa itu. Tetapi dalam Perang Uhud di mana kaum Muslim menderita kekalahan, orang-orang Jahiliah menganiaya mayat-mayat kaum Muslim yang gugur, perempuan-perempuan Jahiliah memotong dan menusuk telinga serta hidung kaum Muslim yang gugur itu seraya mempergunakannya sebagai kalung, di hadapan Nabi dan pengikut, Hindun, istri Abu Sufyan, sungguh-sungguh telah mengeluarkan hati paman Nabi, Hamzah, yang mati syahid, dan memakan sebagian hati itu dengan sikap dendam bernyala-nyala.

Ketika merenungkan pemandangan seperti itu, orang yang menyadari apa yang dicari kaum Muslim dari musuh mereka, pasti kagum betapa sedikit ayat-ayat yang berhubungan dengan peperangan, bahkan pada pandangan pertama sentimen modern kita. Dan menarik untuk diperhatikan – saya belum pernah melihat hal ini diperhatikan – bhwa Al Qur’an, dalam satu ayat, mengizinkan penggunaan, dalam keadaan ekstrim luar biasa, untuk menghentikan kebencian-kebencian yang tak dapat dihalangi dengan jalan lain. Hanya sekali Nabi pernah memaksakan aturan perang pada masa itu dalam segala kekerasannya. Ini terjadi pada Bani Quraidah, satu suku Yahudi di Madinah yang setelah mengikat perjanjian dengan Nabi dan memungut segala keuntungan dari ketentuan-ketentuan perjanjian itu, kemudian mereka menjadi pengkhianat menusuk kaum Muslim yang sedang terkepung oleh angkatan perang Jahiliah yang sangat besar, dalam peperangan yang terkenal sebagai ‘Perang Sekutu’ – karena kaum penyembah berhala telah kompak bersekutu hendak menghancurkan kaum Muslim – atau ‘Perang Parit’ (Perang Khandaq), karena sebuah parit digali sebagai benteng sekeliling kota Madinah. Kaum penyembah berhala yang dibantu oleh Bani Quraidah ini bisa dikalahkan. Ketika Bani Quraidah ditawan dan hendak diadili, mereka diizinkan memilih hakim mereka dari antara kaum Muslim. Sebagai ganti menyerahkan nasibnya pada kebaikan hati Nabi yang pemaaf ini, mereka malah memilih orang yang menurut perasaan mereka akan menguntungkan mereka; tetapi, hakim yang mereka pilih itu memberikan keputusan hukuman mati atas sekalian mereka. Dan hukuman itu dilaksanakan. Inilah satu contoh kekerasan paling ekstrem, dan Anda akan melihat bahwa ini bukan soal permusuhan terbuka, melainkan dalam menghadapi komplotan pengkhianat.

Terhadap musuh yang terang-terangan, peperangan Nabi jauh lebih mengandung belas kasihan dari pada peperangan yang dikenal hingga dewasa ini, sehingga – saya yakin – bahwa hal itu merupakan sumbangan besar terhadap penyiaran agama ini. Orang-orang pada masa itu, yang mengenal adat peperangan kotor, yang tahu bahwa orang-orang yang dikalahkan dalam peperangan kehilangan hak hidup, kagum akan perlakuan baik dari pemenang yang beragama baru itu, lalu memeluk Islam, dan pada saat mereka menganut Islam, mereka pun beroleh kedudukan yang sama dengan para penakluk mereka. Sebelum zaman Muhammad dan di antara bangsa-bangsa bukan Islam berabad-abad sesudah Nabi – bahkan hingga pada hari ini – adalah kenyataan bahwa orang-orang yang ditaklukkan kehilangan segala hak-hak manusiawinya, dan nasibnya sama sekali terpegang di tangan penakluknya, sekalipun mereka seagama. Muhammad merubah semua cara itu. Orang-orang dari kalangan yang ditaklukkan kaum Muslim, yang lalu memeluk agama Islam, semuanya menjadi sama dengan para penakluk mereka, menjadi satu dalam persaudaraan Islam.

Bagaimana dengan orang-orang yang menolak agama Islam? Kalau mereka telah mempunyai peradaban sendiri yang wajar dan mempunyai standar moral – yang tidak mungkin seperti kaum Jahiliah Arab – mereka diwajibkan membayar sumbangan tahunan sebagai ongkos untuk membiayai perlindungan terhadap mereka; dengan pertimbangan ini, mereka diizinkan tinggal tetap dalam kedudukan mereka, tanpa diganggu gugat sebagai masyarakat tersendiri, secara otonom, yang dalam permasalahan internal-nya kaum Muslim tidak berhak turut campur. Haram bagi setiap Muslim menyerang mereka atau menggugat mereka dengan cara bagaimanapun.

Begitulah halnya seluruh rakyat Kristen dalam negara Islam, yang demikian banyak kita dengar pada masa kita sekarang ini. Inilah suatu cara yang maju dalam perlakuan terhadap golongan-golongan minoritas. Tetapi, dunia Kristen telah membuat kejahatan-kejahatan terhadap Islam, dunia Kristen Barat yang pada zaman-zaman itu dan hingga belum lama berselang, memusnahkan golongan minoritas dengan pembunuhan besar-besaran, dengan penyiksaan dan penganiayaan.

Dari tokoh-tokoh penakluk yang besar, hanya Muhammad sendirilah yang menaruh belas kasih dan keampunan dalam tindakan peperangan, dan dengan hasil-hasil yang menakjubkan. Ketika, pada akhir-akhir masa peperangan, Beliau menaklukkan Mekkah dan menguasai orang-orang yang telah menganiaya kaum Muslim, orang-orang yang telah berulangkali berusaha membunuh Beliau, orang-orang yang dalam peperangan melawan Beliau telah menggunakan segala tipu muslihat yang dapat direncanakan dalam pengkhianatan dan kekejian, ketika mereka itu seluruhnya takluk dibawah belas kasihannya, Beliau menghancurkan semua berhala di Mekkah dengan kata-kata, “Kebenaran telah tiba, dan kebatilan lenyap!”; Beliau memaklumkan amnesti umum, memberi sedekah kepada fakir miskin serta membebaskan budak-budak buronan. Tidak ada hukuman, tidak ada uang tebusan, tidak ada tuduhan dan dakwaan; maka orang-orang Mekkah sekaligus memeluk agama Islam.

Mungkin Anda berkata bahwa kejadian seperti itu di jaman dulu adalah merupakan sesuatu yang luar biasa dan mengagumkan, tidak demikan halnya dengan jaman kita sekarang. Kita di jaman sekarang jauh lebih maju dan kita menjalankan peperangan dalam cara yang lebih baik. Kita tidak perlu lagi belajar dari Nabi yang hidup di abad ke tujuh itu. Benarkah demikian?

Tujuan Nabi – dan tujuan Al Qur’an – ialah untuk membatasi peperangan, baik dalam kesempatannya maupun dalam prakteknya, yang kemudian hari dimana dunia semakin maju, justru menjadi semakin tidak mungkin (peperangan terjadi). Sungguh, sekiranya peradaban ada nilainya, maka peradaban itu harus menuju pengurangan dalam kejahatan peperangan. Ketika saya ada di Suriah, saya mendengar suatu pertempuran antara orang-orang Arab gurun – 20.000 orang terlibat dalam perang itu – yang berkecamuk selama dua hari, namun tak seorangpun yang tewas. Mereka berperang dengan panah, alat persenjataan kuno, dan setiap orang yang kehilangan tunggangannya sama artinya dengan mati. Nah, demikianlah sebelum perkenalan mereka dengan peluru-peluru senjata buatan dunia Barat yang sudah sangat maju itu!.

Adakah bangsa-bangsa Kristen dengan jujur membatasi peperangan? Saya tahu semua tentang Konvensi Den Haag dan Konvensi Geneva; ini adalah permulaan-permulaan kecil yang menuju sasaran yang benar, tetapi saya berbicara tentang peperangan yang sesungguhnya!.

Kaum Muslim yang menduduki suatu negeri dilarang merusak kebun tanaman, pohon-pohon kurma dan buah-buahan, atau membantai ternak, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat memaksa.

“Janganlah kamu hancurkan sumber-sumber penghidupan mereka!”, kata Nabi.

Perintah ini mutlak, dan ini ditaati oleh setiap Muslim yang setia. Dunia Islam mengharamkan sekali penggunaan senjata yang sekarang disebut ‘embargo ekonomi’, pembinasaan gudang makanan dan bahan-bahan mentah. Tidakkah perintah ini pasti akan meringankan kejahatan perang serta mengurangi seiring terjadi peperangan? Pada waktu itu penduduk yang tidak bersenjata, orang-orang yang tidak turut campur dalam kegiatan perang – tidak boleh diganggu gugat. Bayangkanlah apa yang akan dikatakan oleh Nabi terhadap pemboman kota-kota terbuka serta serangan-serangan kapal selam terhadap kapal-kapal dagang dan penumpang!?

Kesetiaan yang sungguh-sungguh terhadap perjanjian tidak banyak diperhatikan oleh negara-negara Barat. Dalam dunia Kristen, sejak Machiavelli, kekuasaan yang ditanamkan pada satu pemerintah Kristen hanya dianggap mutlak bagi segala tujuan praktis, dan tidak bertanggungjawab, dengan sedikit batasan yang diakui sebelum teori Machiavelli, bukanlah hasil dari agama Kristen! Melainkan warisan dari Roma pra Kristen. Pada waktu itu, praktek modern tentang pengumpulan untuk tujuan perang di antara orang-orang kaya dari suatu bangsa, dengan imbalan keuntungan yang menarik, secara mutlak dilarang oleh Islam. Pertama, Islam melarang hukum Riba. Kedua, dengan perintah kepada orang-orang kaya untuk menyumbangkan harta dan bahkan jiwa mereka sukarela di jalan Allah. Terjadi di masa dulu, ada pengumpulan dana dari orang kaya untuk membiayai perang, dengan iming-iming akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Dalam Islam hal itu diharamkan. Orang yang ikut perang di medan laga – tanpa menyumbang dana seperti yang dilakukan orang kaya yang tak mau berperang – yang tujuannya untuk mendapatkan harta rampasan perang sebanyak-banyaknya, diharamkan. Karena Allah telah mengeluarkan hukum atas harta peninggalan sisa perang : seperlima bagi Allah dan Rasul, yaitu bagi negara, dan sisanya dibagi-bagikan kepada rakyat.

Nasionalisme yang agresif, seperti yang kita kenal di Barat ini dilarang Islam; dan patriotisme yang mengutamakan bangsa dalam keadaan salah – right or wrong, my country – dikutuk Islam sebagai kejahatan.

“Maka, tidakkah tuan-tuan para pemuja kebangsaan agresif – pangkal dari segala peperangan yang paling keji yang dikenal dunia – merasa perlu belajar dari Nabi yang hidup di abad ketujuh ini?”

“Anda telah melihat apa yang menambah besarnya bencana perang. Anda dan saya, dan setiap orang yang mendengar orang berkata (lama sebelum perang melawan Jerman dimulai), “Ah takmungkin lagi akan ada peperangan. Alat-alat pembinasa telah menjadi sangat kejam.” Bangsa-bangsa sedang berlomba-lomba untuk menemukan senjata-senjata baru untuk menakuti-nakuti lawan.

Saudara-saudara, selalu ada kemungkinan lagi terjadinya peperangan, selama peperangan menghasilkan penaklukan, kekayaan dan kekuasaan pada pihak pemenang. Anda tidak dapat mencegah peperangan dengan jalan memperbesar malapetaka akibat perang. Tidakkah patut kita mencoba mengikuti cara Nabi membatasi malapetaka perang dan membatasi terjadinya perang? Ini dapat dilakukan, pertama-tama dengan menjalankan hukum Qishaash, “Sama seperti kamu suka orang akan berbuat padamu, sedemikian itu juga hendaknya kamu berbuat kepadanya” (Lukas 6:3, Matius 7:12). Anda lihat, saya tidak berkata kosong apabila saya katakan bahwa hukum Islam pada prinsipnya adalah sama dengan ajaran Yesus yang dijadikan undang-undang yang tersusun secara teratur dan praktis.

sumber

Leave a comment